PALU | Warta Sulteng –

Peringatan Hari Tani Nasional tahun ini kembali diwarnai aksi massa ribuan di Sulawesi Tengah. Dari Sigi, Poso, Donggala, hingga Tolitoli, para petani berkumpul di bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Tengah dan Aliansi Perjuangan Rakyat.

Mereka menuntut janji reforma agraria yang sudah 65 tahun tak kunjung terealisasi sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

Massa datang dengan bak terbuka, sepeda motor, membawa spanduk, poster, serta hasil bumi sebagai simbol perjuangan. Aksi dipusatkan di Kantor Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL), Kantor ATR/BPN, hingga Kantor Gubernur Sulawesi Tengah.

“Ini bukan sekadar peringatan Hari Tani. Ini penagihan janji yang terlalu lama diingkari negara,” tegas Firman, koordinator lapangan aksi.

Ketua Serikat Tani Sigi, Darfan, mengungkap penderitaan petani yang terusir dari lahan garapan mereka di kawasan yang diklaim sebagai Taman Nasional Lore Lindu. Menurutnya, aparat kerap melakukan dan hingga melarang warga mengakses lahan yang telah mereka tempati secara turun-temurun.

“Petani dituduh merambah dan merusak, padahal tanah itu sudah lama dihuni dan dibuktikan dengan adanya kuburan tua di sana,” ujarnya.

Kritik juga datang dari generasi muda petani. Yani (25), anggota Forum Petani Merdeka, menilai tanpa redistribusi lahan, masa depan generasi muda semakin suram.

“Tanah orang tua kami sudah habis. Kalau tidak ada reforma agraria, kami terpaksa pindah ke kota dan bekerja serabutan atau jadi TKW. Itu bukan pilihan yang kami inginkan,” kata Yani.

Data KPA mencatat, sejak 2015 hingga terjadi 3.234 konflik agraria dengan luas 7,4 juta hektare. Akibatnya, 1,8 juta keluarga kehilangan tanah dan mata pencaharian. Namun, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dinilai gagal meredam konflik.

“Satgas hanya habiskan anggaran rapat tanpa solusi konkret,” kata Lispin, Ketua Forum Petani Merdeka.

Di Sulawesi Tengah, proyek nusantara, bank tanah, hingga pembangunan PLTA Poso dan Kawasan Khusus (KEK) Pantoloan–Wombo disebut telah merampas tanah rakyat. Aktivitas industri itu bahkan menimbulkan yang merenggut nyawa warga.

“Negara membentengi investasi dengan aparat bersenjata. Tanah, laut, dan hutan rakyat dikapling untuk kepentingan segelintir orang,” ujar Jumaldi, Ketua Forum Komunikasi Petani Tolitoli.

Kasmudin, Ketua Serikat Nelayan Teluk Palu, menambahkan bahwa para nelayan pun kehilangan ruang tangkap akibat aktivitas besar pengangkut material.

Aksi 24 September menjadi puncak gelombang demonstrasi sejak Agustus. KPA menyebut kondisi ini sebagai sinyal darurat agraria, di mana 1 persen elite menguasai 58 persen tanah, sementara 99 persen rakyat harus berebut sisanya.

“Sudah 31 tahun kami menagih janji yang sama. Kami akan terus datang setiap tahun sampai reforma agraria benar-benar dijalankan,” tegas Ade, Koordinator Wilayah KPA Sulawesi Tengah.

Mereka mendesak pemerintah segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria yang dipimpin langsung Presiden, sekaligus mengesahkan RUU Reforma Agraria. **