POSO, WARTA SULTENG –
Lebih dari seratusan tetua adat dari berbagai desa di Kabupaten Poso berkumpul selama tiga hari di Kelurahan Sawidago, Kecamatan Pamona Utara dalam Festival Tradisi Kehidupan yang berlangsung mulai 31 Oktober hingga 2 November 2024.
Festival ini diinisiasi oleh Institut Mosintuwu bersama Dewan Adat Sawidago dan Balai Pelestari Kebudayaan (BPK) Wilayah XVIII. Acara ini menjadi ruang diskusi bagi para tetua adat untuk membahas tantangan pelestarian budaya Pamona yang semakin terancam.
Festival Tradisi Kehidupan tahun ini mengusung tema “Mampakaroso Pampotiana Ada Ntana” yang berarti memperkuat, memelihara, dan melestarikan tradisi kehidupan Pamona.
Diskusi di antara para tetua adat fokus pada pelestarian objek budaya yang masih ada, identifikasi pengaruh yang mengancam tradisi, serta cara-cara melibatkan generasi muda agar turut menjaga warisan budaya tersebut.
Ketua Dewan Adat Sawidago, Hajai Ancura, menyampaikan bahwa festival ini bertujuan mempererat komunikasi antar tetua adat Pamona. “Selama ini kita mengandalkan cerita lisan. Di sini, kita berkumpul untuk mendokumentasikan tradisi yang akan kita wariskan kepada anak cucu,” ujar Hajai.
Menurutnya, kegiatan ini juga membangkitkan kembali semangat untuk memelihara adat, mendokumentasikan nilai filosofis budaya Pamona, serta menjaga keberlangsungan tradisi kuliner, permainan anak, dan seni di Poso.
Hajai juga menyoroti ancaman kepunahan tradisi Pamona akibat minimnya regenerasi. “Bahasa Pamona misalnya, mulai jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, dan seni tradisi seperti Mobolingoni serta Kayori kini hanya dikuasai oleh generasi tua. Padahal, kedua seni ini punya peran penting dalam perayaan adat seperti pernikahan,” tambahnya.
Pemilihan Kelurahan Sawidago sebagai lokasi festival didasari oleh nilai sejarahnya yang kuat. Sawidago dikenal sebagai lokasi tradisi Mosango di Danau Poso yang hanya dilakukan bila warga Sawidago telah hadir sebagai penghormatan atas sejarah daerah tersebut. Selain itu, tarian Torompio, salah satu tarian khas Pamona, diciptakan oleh leluhur masyarakat Mungkudena, cikal bakal Sawidago.
Lurah Sawidago berharap, festival ini sekaligus menjadi perayaan 99 tahun berdirinya Sawidago sebagai kampung. “Nama Sawidago sendiri berasal dari bahasa Pamona, yang berarti tiba di tempat yang baik. Kami ingin melanjutkan nilai kebaikan itu dengan melestarikan budaya bagi generasi berikutnya,” ujarnya.
Dalam festival ini, anak-anak diajak memainkan permainan tradisional seperti moganci, motela, dan molodu. Setiap malam, festival diramaikan oleh pagelaran tari dan musik tradisional, serta tradisi lisan seperti kayori dan molaolita. Kegiatan ini diharapkan mampu menarik minat generasi muda untuk mempelajari dan menghidupkan kembali budaya Pamona.
“Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan merusak hubungan sosial dan mengurangi kualitas hidup masyarakat Pamona. Hubungan antara manusia dan alam pun terancam jika nilai-nilai tradisi tidak lagi dipelihara,” kata Hajai Ancura. Beliau menekankan pentingnya merekam narasi kearifan lokal dalam bentuk tertulis agar mudah disebarluaskan ke masyarakat, terutama generasi muda.
Festival Tradisi Kehidupan ini merupakan kali keempat digelar. Festival ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mencakup aspek-aspek penting budaya seperti bahasa, ritus, seni, dan teknologi tradisional. **