WARTA SULTENG, SIGI – Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), SL (Inisial) mengaku dikorban atau jadi tumbal dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait penyimpangan pengelolaan dana hibah Pilkada Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) tahun 2020. Dana tersebut bersumber dari APBD Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng dan disalurkan ke Bawaslu Sulteng.
“Mestinya kita bertiga menjadi tersangka, yakni Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Bendahara, dan saya. Jangan hanya saya yang menjadi tameng, tumbalnya. Jelas dalam hal ini saya jadi tumbal,” ungkap SL saat ditemui sebelum dijebloskan ke Lapas Perempuan Kelas III Palu, Desa Maku, Kabupaten Sigi, Kamis (6/6) malam.
SL menjelaskan bahwa ada tiga pihak yang terlibat dalam pengelolaan anggaran hibah, yaitu KPA, Bendahara, dan PPK. Dirinya sebagai PPK tidak memiliki Surat Keputusan (SK) dan tidak mungkin mengambil tindakan tanpa perintah, termasuk dalam hal alur pembiayaan.
SL menegaskan bahwa dirinya tidak mengetahui alur pengeluaran uang karena pembiayaan melalui pengeluaran cek dilakukan oleh Bendahara dan ditandatangani oleh KPA.
“Makanya saya bingung, tiba-tiba saya ditetapkan sebagai tersangka. Mestinya tiga orang, tapi kenyataannya saya sendiri saja sebagai tersangka,” tuturnya.
SL juga menekankan bahwa alur keluar dan masuk uang diketahui oleh Bendahara. “Kalau saya tidak berhubungan dengan uang,” katanya.
SL memohon kepada penyidik kejaksaan untuk tidak hanya menyidik Bawaslu Provinsi, tetapi juga lima kabupaten/kota, yaitu Bawaslu Kabupaten Morowali, Banggai Kepulauan, Parigi Moutong, Donggala, dan Bawaslu Kabupaten Buol.
Ia menyebutkan bahwa dari dana hibah sekitar Rp8 miliar yang digelontorkan ke Bawaslu Provinsi, sekitar Rp4 miliar telah dicairkan. “Kami saja Rp4 miliar, hasil pemeriksaan BPKP kerugian negara hanya Rp903 juta. Lalu bagaimana pengelolaan anggaran lebih dari kami? Perlu ditelusuri semua. Kalau provinsi saja bisa dikorek, Bawaslu Kabupaten/Kota yang menyerap anggaran lebih besar juga harus dikorek,” pintanya.(**)