PALU | Warta Sulteng –
Rencana pertambangan di Desa Komba-Komba, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, menimbulkan kekhawatiran serius dari masyarakat, aktivis lingkungan, hingga kalangan legislatif.
Aktivitas tambang dinilai berpotensi merusak ekosistem pesisir, mengganggu sumber ekonomi masyarakat, bahkan mengancam potensi pengembangan wisata bahari desa tersebut.

Kekhawatiran ini mengemuka dalam Workshop Tata Kelola Ruang dan Perlindungan Ekosistem Pesisir Berbasis Masyarakat yang diselenggarakan Yayasan KOMIU di Palu, Rabu (24/6/2025).
Direktur Yayasan KOMIU, Given, menjelaskan bahwa wilayah Komba-Komba memiliki ketergantungan tinggi pada sektor kelautan, terutama budidaya rumput laut yang menjadi penggerak ekonomi utama.

Namun, rencana aktivitas tambang dinilai berisiko memperparah kerusakan ekosistem laut dan mengganggu keberlanjutan ekonomi masyarakat.
“Tambang bisa merusak habitat laut, memperparah pencemaran, dan mengganggu produksi rumput laut. Apalagi, Komba-Komba hanya memiliki satu sumber air bersih. Ini ancaman serius,” kata Given.

Kajian sementara Yayasan KOMIU juga menunjukkan, kenaikan suhu laut telah memengaruhi pertumbuhan terumbu karang di sekitar pulau-pulau kecil. Ancaman itu diperparah oleh praktik penangkapan ikan dengan bom dan bius yang masih terjadi hingga kini.
Selain potensi hasil laut, Given menambahkan, Komba-Komba juga memiliki kekayaan alam yang layak dikembangkan sebagai destinasi wisata.
“Gugusan pulau-pulau kecil, dan terumbu karang yang masih alami bisa menjadi daya tarik wisata bahari jika dikelola secara berkelanjutan,” ujarnya.

Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut Dinas Kelautan Perikanan Sulteng, Abd Rasyid, menyatakan pentingnya mempertahankan kawasan pesisir Komba-Komba sebagai wilayah konservasi.
Menurutnya, selain menjaga ekosistem, pemerintah juga perlu memperkuat perencanaan budidaya rumput laut, termasuk dukungan sarana dan pembinaan kelompok usaha.
“Soal air bersih memang bukan ranah kami, tetapi untuk aspek kelautan, kami siap fasilitasi. Soal tambang, kami akan cek legalitas empat IUP yang beredar. Kalau ada pelanggaran, kami siap kordinasikan mencarikan solusi sejak awal,” tegas Rasyid.

Ia menambahkan, Banggai merupakan salah satu sentra rumput laut terbesar di Sulawesi Tengah, sehingga aktivitas yang merusak, termasuk bom dan bius ikan, harus ditindak secara struktural dan berkelanjutan.
Wakil Ketua I DPRD Sulteng, Arsitan, menyatakan dukungan penuh kepada masyarakat Komba-Komba. Ia menegaskan DPRD akan memanggil instansi terkait seperti Dinas ESDM dan DLH untuk mencegah penerbitan izin tambang di wilayah tersebut.
“Tambang tidak boleh masuk ke Komba-Komba. Komitmen pemerintah dalam RPJMD adalah memperjuangkan kesejahteraan nelayan lewat alat tangkap, jaminan sosial, dan program Berani Makmur. Kita akan kawal ini,” tegas Arsitan.
Ia juga menekankan pentingnya penanganan menyeluruh terhadap praktik penangkapan ikan yang merusak, tidak hanya melalui hukum, tetapi juga edukasi dan pendekatan yang masif.
Ketua BPD Komba-Komba, Handri Likak, menyampaikan keresahan warganya atas keberadaan konsesi tambang. Menurutnya, selain merusak lingkungan, pertambangan bisa menghancurkan usaha budidaya yang sudah berjalan dan mengancam ketersediaan air bersih.
“Ditahun sebelumnya kami sudah menerima bantuan sarana perikanan dari APBD, bahkan jadi salah satu produsen bibit rumput laut. Kalau tambang masuk, semua ini bisa hancur. Kami juga butuh mesin pompa air bertenaga surya,” ujar Handri.
Sekretaris Desa Komba-Komba, Yepi Yasona, menambahkan bahwa sebagian besar warga bergantung pada sektor pertanian dan kelautan. Ia berharap pemerintah hadir memberikan perlindungan terhadap ancaman tambang serta penindakan terhadap praktik penangkapan ikan ilegal.

Kelompok perempuan di desa pun menyuarakan penolakan mereka. Selama ini, perempuan terlibat aktif dalam budidaya rumput laut dan menjadi penopang ekonomi keluarga. Mereka khawatir aktivitas tambang akan merusak laut, menghancurkan mata pencaharian, serta memperbesar ketimpangan kesejahteraan di desa.(od)