PALU | Warta Sulteng –

Yayasan Advokasi Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah, menanggapi peristiwa longsor tambang ilegal di Poboya, Mantikulore, yang kembali menelan korban jiwa.

Dalam rilis resminya, YAMMI menyebut, berinisial HR tewas tertimbun longsor saat memuat material ke truk di lokasi “Vavolapo”, Kamis malam (9/10) sekitar pukul 19.00 WITA.

Menurut YAMMI, Peristiwa ini menambah panjang daftar korban akibat aktivitas tambang ilegal di kawasan tersebut. Pada Juni 2025 lalu, dua penambang juga meninggal di lokasi tambang “Kijang 30” setelah tertimbun longsor serupa.

Pola kejadiannya nyaris sama— longsor datang tiba-tiba, menimbun pekerja, dan merenggut nyawa tanpa sempat diselamatkan.YAMMI menyebut tragedi berulang ini sebagai bukti lemahnya penegakan hukum dan pemerintah terhadap aktivitas PETI di Poboya.

Dari rilis resmi yang dibaca wartasulteng.com, disebut, para pekerja tambang adalah warga yang terdesak secara ekonomi dan bekerja tanpa perlindungan keselamatan yang layak.

“Tidak ada standar keamanan, tidak ada pengawasan, dan tidak ada jaminan keselamatan bagi para penambang. Ini bukan sekadar alam, tetapi bencana kebijakan,” kata Direktur Kampanye dan Advokasi YAMMI Sulteng, Africhal Khamane'i dalam keterangannya.

YAMMI menilai keberadaan PETI di Poboya ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu bisa memakan korban. Aktivitas tambang ilegal ini terus berjalan meski telah berulang kali menimbulkan korban jiwa.

“Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari tambang ilegal ini dan mengapa praktik berbahaya ini masih dibiarkan?” ujarnya.

Organisasi itu mendesak , Negeri Palu, serta instansi terkait untuk menindak tegas seluruh pihak yang terlibat dalam operasi PETI.

YAMMI juga meminta penutupan permanen seluruh lokasi tambang ilegal di Poboya serta pengusutan kemungkinan adanya pembiaran atau keterlibatan oknum aparat.

Lebih lanjut, YAMMI mengingatkan Pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah agar tidak hanya bersikap reaktif setiap kali korban berjatuhan.

Pemerintah diminta mengambil langkah komprehensif dengan menggabungkan penegakan hukum dan pemberdayaan ekonomi warga agar tidak tergantung pada aktivitas tambang ilegal.

“Setiap hari tanpa tindakan berarti memperbesar kemungkinan jatuhnya korban berikutnya. Tragedi ini harus menjadi titik balik untuk mengakhiri praktik tambang ilegal yang telah terlalu lama memakan korban,” tegas Africhal.

Upaya konfirmasi ke pihak Kepolisian atas dugaan tragedi naas tersebut telah dilakukan, namun belum mendapatkan jawaban. **