Keberadaan masyarakat hukum adat di Sulawesi Tengah menghadapi ancaman serius akibat ekspansi pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam.
Meski berbagai regulasi nasional telah mengakui hak-hak mereka, di lapangan masih banyak komunitas adat yang belum mendapatkan perlindungan hukum memadai. Tanpa regulasi yang kuat, mereka berisiko kehilangan hak atas tanah, menghadapi kriminalisasi, dan digusur dari wilayah adatnya.
Menurut Joisman Tanduru, Dinamisator Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA), situasi ini semakin mengkhawatirkan karena ketimpangan dalam implementasi kebijakan di berbagai daerah.
“Dari 89 komunitas adat yang terdaftar di Sulawesi Tengah, 96% belum memiliki payung hukum yang jelas. Tanpa perlindungan yang konkret, mereka terus menghadapi ancaman penggusuran dan kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang menjadi bagian dari kehidupan mereka,” ungkapnya.
Secara nasional, pengakuan terhadap masyarakat adat telah dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Namun, di tingkat daerah, hanya beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) terkait pengakuan masyarakat adat, seperti:
- Perda Morowali No. 13 Tahun 2012 (Suku Wana)
- Perda Sigi No. 15 Tahun 2014 (Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sigi)
- Perda Tojo Una-Una No. 11 Tahun 2017 (Tau Taa Wana)
Namun, regulasi ini belum mencakup seluruh komunitas adat dan belum ada kebijakan serupa di tingkat provinsi. Beberapa komunitas adat juga berada di wilayah yang melintasi batas administrasi kabupaten/kota, sehingga regulasi yang ada belum mampu memberikan perlindungan yang efektif.
Menurut Amran Tambaru, Direktur Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah, pemerintah harus segera merespons kebutuhan hukum masyarakat adat.
“Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 telah mengakui bahwa hutan adat bukan bagian dari kawasan hutan negara, tetapi di lapangan, masyarakat adat masih sulit mendapatkan hak atas tanahnya sendiri. Perlu ada kebijakan yang lebih jelas dan berpihak pada mereka,” tegasnya.
Melihat kondisi ini, KARAMHA mendesak DPRD Sulawesi Tengah untuk segera membahas Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) yang telah masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (PROPEMPERDA) 2025.
Joisman menegaskan bahwa masyarakat adat harus dilibatkan secara aktif dalam pembahasan regulasi ini.
“Kami menuntut agar proses pembahasan Ranperda PPMHA dilakukan secara transparan dan melibatkan langsung masyarakat adat sebagai pemegang hak,” katanya.
Dengan adanya regulasi di tingkat provinsi, diharapkan masyarakat adat mendapatkan perlindungan hukum yang lebih kuat dan tidak lagi menjadi korban eksploitasi.
KARAMHA menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga langkah strategis dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam di Sulawesi Tengah.**