WARTA SULTENG, PALU – Pencemaran merkuri di wilayah Poboya, Kota Palu, akibat aktivitas pengolahan emas, khususnya pertambangan rakyat, telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan lingkungan.
Merkuri yang digunakan dalam ekstraksi emas tidak hanya mencemari tanah dan air, tetapi juga berdampak buruk pada ekosistem dan manusia.
Penelitian mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu menemukan kadar merkuri berbahaya dalam tanah di area pertambangan Poboya.
Meskipun penggunaan merkuri memudahkan proses ekstraksi emas, residunya merusak lingkungan, terutama melalui kontaminasi air dan tanah yang berdampak langsung pada kehidupan warga, termasuk hasil pertanian.
Dr. Bambang Sardi, Dosen Kimia Untad, menekankan bahwa paparan merkuri dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf, terutama pada anak-anak dan ibu hamil, serta merusak flora dan fauna. Sementara itu, Dr. Syamsuddin, juga dari Untad, menyatakan bahwa ia sudah sejak 2007 tidak berani lagi mengonsumsi air dari Poboya.
Meski demikian, kegiatan pertambangan rakyat tetap berlangsung, membuka lapangan kerja baru namun juga memicu konflik sosial di kalangan pekerja.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan, termasuk penguatan regulasi, sosialisasi bahaya merkuri, dan penerapan teknologi ramah lingkungan.
Namun, pesimisme terhadap penanganan pemerintah juga mencuat, dengan beberapa akademisi meragukan efektivitas kebijakan yang ada.
Masalah pencemaran merkuri di Poboya perlu ditangani segera untuk melindungi kesehatan publik dan menjaga keseimbangan lingkungan. **
Artikel ini merupakan bagian dari program kolaborasi liputan jurnalis Kota Palu yang tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis.