WARTA SULTENG, PALU – Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kelurahan Poboya yang terus berlangsung telah memicu terjadinya degradasi lahan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya.
Berdasarkan data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso hingga tahun 2022, dari total 7.661,94 hektare luas DAS Poboya, lahan dengan status sangat kritis mencapai 406,10 hektare, sedangkan 70,90 hektare lainnya berada dalam kategori kritis.
Selain itu, terdapat 6.267,42 hektare lahan dengan status agak kritis dan 423,35 hektare yang berpotensi menjadi kritis. Hanya 444,17 hektare lahan yang tercatat masih dalam kondisi baik.
Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi BPDAS Palu-Poso, Sumarman, mengungkapkan bahwa jumlah lahan kritis ini kemungkinan akan bertambah seiring dengan berlanjutnya aktivitas PETI di kawasan tersebut.
Sumarman menjelaskan bahwa PETI memiliki kontribusi besar terhadap kerusakan lahan. Aktivitas ilegal ini mengabaikan rencana pemulihan lingkungan dan menyebabkan pembukaan lahan yang tidak terkontrol.
“Tanpa analisis pun kami bisa mengkategorikan lahan tersebut sebagai lahan kritis karena yang tersisa hanyalah tanah yang tidak subur dan tidak bisa ditanami,” jelas Sumarman.
DAS Poboya memiliki peran vital, tidak hanya bagi masyarakat sekitar tetapi juga bagi Kota Palu sebagai sumber air untuk pertanian dan perkebunan. Sayangnya, keberlanjutan PETI telah merusak ekosistem setempat, mengurangi debit air sungai, dan mengubah bentang alam dari hutan menjadi padang rumput dan semak belukar.
Pada musim kemarau, aliran DAS Poboya yang dulunya lebar kini menyusut hingga hanya selebar 40 meter, menyisakan kerikil di sepanjang tepi sungai.
Penggunaan bahan kimia berbahaya, seperti merkuri, dalam aktivitas PETI di sekitar sungai juga menimbulkan ancaman serius bagi DAS dan Teluk Palu.
Penelitian yang dilakukan oleh tiga mahasiswa Universitas Tadulako, Palu, pada Agustus 2023 menemukan adanya kandungan merkuri berkisar 0,0068 hingga 0,0305 ppm di dalam tanah di area pengolahan emas di Lagarutu, Kelurahan Poboya.
Ironisnya, meski ancaman lingkungan sudah jelas, aktivitas PETI tetap berlanjut. Data yang dihimpun oleh rindangID menunjukkan bahwa PETI juga telah merambah kawasan Kelurahan Tondo.
Di dua lokasi ini, sekitar 10,5 hektare lahan telah berubah menjadi area tambang dengan lubang-lubang besar menganga. Bahkan, di Poboya, PETI dilakukan di dalam kawasan konsesi PT CPM, menambah kompleksitas masalah ini.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng, Taufik, mempertanyakan ketegasan penegakan hukum terhadap aktivitas ini, “Apakah hukum tak berdaya menghadapi mafia tambang, atau ada keterlibatan oknum aparat yang membiarkan aktivitas ini berlangsung sehingga para pemodal besar tetap aman?”
Tulisan ini adalah bagian dari Program Kolaborasi Liputan Jurnalis Kota Palu yang tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis.