WARTA SULTENG, PALU – Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di sejumlah wilayah Sulawesi Tengah, seperti Kelurahan Poboya dan Tondo di Kota Palu, terus memicu kekhawatiran dari berbagai pihak, mulai dari pegiat lingkungan, akademisi, hingga aparat penegak hukum.
Para ahli mengingatkan dampak buruk yang timbul dari kegiatan tanpa izin ini, mulai dari kerusakan ekosistem hingga kerugian finansial bagi daerah dan negara.
Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng menunjukkan, dalam satu siklus pemurnian selama tiga bulan, PETI di Poboya dapat menghasilkan sekitar 3 kilogram emas, yang jika diakumulasi selama setahun, bisa mencapai 12 kilogram.
“Jumlah itu setara dengan biaya pendidikan bagi 10 ribu anak tingkat SD hingga SMP,” ungkap Koordinator JATAM Sulteng, Mohammad Taufik. Ia juga mendesak polisi untuk menindak tegas para cukong di balik aktivitas ilegal ini.
Dari perspektif lingkungan, dampak negatif PETI semakin nyata. Pakar ekologi, Dr. Ir. Abdul Rosyid, menjelaskan bahwa aktivitas PETI tidak hanya merusak habitat flora dan fauna, tetapi juga mencemari aliran sungai hingga laut, menyebabkan kerugian ekosistem dan menurunkan hasil tangkapan ikan.
Polisi pun mengingatkan ancaman bagi para penambang sendiri, terutama risiko longsor yang meningkat saat musim hujan, selain kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai miliaran rupiah.
Kompol Romy Gafur dari Polresta Palu menyatakan, “Kerusakan lahan dan nyawa yang terancam menjadi masalah serius selain hilangnya potensi pendapatan negara.”
Pemerintah diminta tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mengedukasi masyarakat agar menjauhi aktivitas pertambangan ilegal demi kelestarian lingkungan dan keselamatan bersama. **
Tulisan ini Bagian dari Program Kolaborasi Liputan Jurnalis Kota Palu yang Tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis.