WARTA SULTENG, PALU – Kegiatan ilegal berupa pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Sulawesi Tengah (Sulteng) dianggap sebagai persoalan kompleks yang menimbulkan berbagai masalah. Selain merugikan negara, PETI mengancam nyawa, merusak lingkungan, dan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang.
Berdasarkan penelitian tiga mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu, ditemukan paparan merkuri pada tanah di Poboya, Kecamatan Palu Timur.
Konsentrasi merkuri berkisar antara 0,0068-0,0305 ppm, angka yang dapat berdampak serius terhadap kesehatan. Penggunaan bahan kimia berbahaya ini dianggap sebagai faktor utama yang merusak lingkungan serta membahayakan masyarakat sekitar.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu menyatakan bahwa penggunaan bahan kimia dalam proses pertambangan adalah hal yang lumrah, namun harus sesuai dengan prosedur dan aturan.
Pengawasan terhadap aktivitas PETI ini berada di tangan pemerintah provinsi dan aparat penegak hukum.
Walhi Sulteng juga menyampaikan keprihatinannya terkait pencemaran air yang menyulitkan masyarakat untuk mengakses air bersih.
Selain itu, masalah kesehatan seperti gatal-gatal akibat paparan bahan kimia turut menjadi kekhawatiran.
Meskipun berbagai pihak menyoroti dampak buruk PETI, kepolisian tampak bungkam terkait temuan bahan kimia berbahaya di lokasi tambang ilegal.
Investigasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng mengungkapkan bahwa penggunaan merkuri dan sianida dalam pengolahan emas telah berlangsung sejak 2008-2009, dengan aktivitas yang semakin masif belakangan ini.
Sayangnya, meski ada temuan aktivitas penambangan ilegal yang melibatkan warga negara asing dan penggunaan bahan kimia berbahaya, upaya untuk mendapatkan informasi dari kepolisian tidak membuahkan hasil.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang terkait langkah tegas untuk menangani persoalan ini. **
Tulisan ini bagian dari program kolaborasi liputan jurnalis Kota Palu yang tergabung dalam komunitas Roemah Jurnalis